“TiNGwe” atau dalam kata jawa adalah nGlinthing dewe, begitu lekat
berpadan dipadukan dengan tembakau dan cengkeh, serta kertas cigaret.
Terlintas dalam benak fikiran kita dengan “kesahajaan” sederhana
walaupun boleh dibilang “pelinting dewe” ini juga tidak anti
modernisasi, mereka tidak akan menolak bila di sodori rokok keluaran
pabrik.
Bapak yang sudah beranjak sepuh [tua], dengan berkain sarung,
bertelanjang dada, tanpa alas kaki menarik dalam-dalam asap keabu-abuan
itu, lalu menghembuskan perlahan seolah terasa enggan untuk di uraikan,
menikmati, … begitu kesannya yang bisa ditangkap.
Berproses sebelum siap hisap, dari menata tembakau dan cengkeh diatas
kertas cigaret, dilanjutkan dengan “melinting” atau menggulung, dan itu
dilakukan dengan dua tangan, harus sinergi serta penuh dengan
penghayatan, tanpa di hayati sering dan acapkali gulungan itu akan
[udar].
Kesederhaan, kesabaran, ketlatenan, dan sinergisitas akan menjadikan
rokok “tingwe” siap di hisap dalam-dalam , tapi jangan lupa buang
puntungnya pada tempat yang semestinya, karena kasihan bila terinjak
tingwe lancip di sisi ujung yang dihisap, kata Bapak yang menghisap
tingwe tadi lancipnya tingwe bisa mengenai kaki :) sarat makna tapi
masih tetap bisa bercanda
Sumber:
Kompasiana
Sumber:
Kompasiana
0 comments:
Post a Comment